Blog

Bukan Akhir, Tapi Awal dari Keajaiban

Sudah hampir tiga tahun sejak aku meninggalkan tanah air untuk menetap dan bekerja di luar negeri. Tapi semakin tinggi aku naik, semakin jelas satu hal dalam hatiku: mg 4d ternyata, puncak bukanlah soal tempat. Tapi soal perasaan diterima, dipahami, dan disyukuri.

Dan keheningan malam di negeri orang seringkali justru membuatku makin dekat dengan satu sosok yang dulu sering aku lupakan saat semuanya baik-baik saja:

Tuhan.

Saat Semua Orang Diam, Dia Masih Mendengar

Aku ingat malam-malam saat aku remaja dulu. Duduk di lantai kamar sempit, lampu temaram, suara ibu batuk dari dapur, dan aku menatap langit-langit sambil berbisik pelan:

“Ya Tuhan… kalau Engkau benar ada, tolong jangan biarkan aku hancur.”

Saat itu, tak ada yang menjawab. Tapi hari demi hari berlalu… dan satu per satu doaku dikabulkan, tanpa aku sadari.

Beasiswa datang. Kekuatan untuk bangkit muncul. Orang-orang yang dulu menyakiti… perlahan menghilang dari pikiranku.

Ternyata… Tuhan tak pernah tidur. Dia hanya bekerja dalam diam.

Dari Dendam ke Doa

Dulu, aku sering bertanya: “Kenapa aku?”
Kenapa harus aku yang miskin?
Kenapa harus aku yang ditinggalkan?
Kenapa harus aku yang dihianati?

Tapi kini aku paham.
Tuhan tak pernah pilih kasih.
Yang Dia pilih adalah siapa yang kuat menanggung sakit, karena Dia tahu:
Orang yang paling banyak luka, adalah orang yang paling banyak bisa menyembuhkan.

Kini, saat aku melihat anak-anak beasiswa yang menangis karena diterima sekolah, aku teringat Raka kecil. Dulu dia ingin dibantu… sekarang dia yang membantu.

Dulu aku penuh dendam. Tapi kini, aku hanya bisa berdoa.

Untuk mereka yang meninggalkanku, terima kasih.
Untuk mereka yang meremehkanku, terima kasih.
Tanpa kalian, aku tak akan setinggi ini.

Cinta yang Berbeda

Banyak orang bertanya, “Kamu sudah sukses, kenapa belum menikah?”

Aku tersenyum. Bukan karena trauma. Tapi karena aku tahu… cinta itu bukan tentang siapa yang paling cepat datang, tapi siapa yang paling tahan bertahan.

Aku tidak mencari seseorang yang datang saat aku sudah berada di puncak. Aku menunggu seseorang yang berani memegang tanganku saat aku jatuh lagi suatu hari nanti. Karena hidup tak pernah datar. Dan cinta sejati… adalah ketika kamu memilih untuk tetap tinggal, bahkan ketika segalanya terasa hancur.

Vira pernah jadi bagian dari hidupku. Tapi dia juga adalah bagian dari pelajaran. Dan tak semua pelajaran harus terus dibaca sepanjang hidup.

Surat untuk Diriku yang Dulu

Kalau aku bisa menulis surat untuk diriku yang berusia 16 tahun, aku akan bilang:

Semua Ini Bukan Tentang Aku

Semakin jauh aku melangkah, semakin aku sadar: hidup ini bukan soal pencapaian. Tapi soal pengaruh.

Seorang anak kecil pernah memelukku di acara beasiswa dan bilang,
“Kak Raka, nanti aku juga mau kayak Kakak ya. Biar Ibu nggak capek lagi jualan gorengan.”

Aku diam. Mataku berkaca-kaca.

Karena itulah tujuan akhirnya.

Bukan gelar. Bukan gaji besar. Tapi menjadi alasan seseorang untuk tetap berharap.

Penutup

Aku masih Raka. Anak yang dulu tidak dianggap siapa-siapa.

Tapi kini aku berdiri bukan hanya untuk diriku sendiri.
Aku berdiri untuk orang tuaku.
Untuk anak-anak yang sedang belajar dalam gelap.
Untuk semua yang sedang merasa putus asa.

Dan yang paling penting, aku berdiri… untuk diriku yang dulu. Yang pernah nyaris menyerah, tapi tetap bertahan.

Karena pada akhirnya, aku percaya:

Leave a Reply